Senin itu pagi sangat cerah, matahari bersinar ramah, sementara burung-burung bersenandung riang. Namun sayangnya tidak senada dengan Fajar yang jantungnya berdegup kencang pagi ini. Sesuatu yang menyeramkan berkelebat di benaknya, mengingat hari ini adalah hari pelantikan angkatan yang diadakan setahun sekali akan berlangsung sore ini. Fajar sama sekali menentang akan tindak kesenioritasan. Jiwanya memberontak bahwa hal semacam ini sudah sangat tidak diperlukan lagi, karena mendiskriminasi nilai-nilai kemoralan. Tapi ini adalah hal yang tak dapat dihindari, karena senior-senior itu akan selalu mengejarnya.
Dua tahun pun berlalu dan kini ia sudah duduk di tingkat senior. Senin itu masih indah dan cerah, namun berbeda dengan Hari itu. Hari ini hati Fajar senada dengan suasana pagi, lantaran ia tak merasa terbebani karena posisinya saat ini adalah SENIOR, bukanlah JUNIOR.Dan sekarang tugasnya lah untuk ‘mengadili’ junior-junior yang polos itu. Diam-diam hatinya mengikik puas.
Setelah membaca kutipan di atas, apakah kamu merasa kamu sangat mirip dengan Fajar? Seorang junior yang tidak menerima dirinya ditindas namun sangat menikmati ketika roda berputar dan menjadikannya menjadi seorang yang bisa melakukan itu?
Membicarakan soal kesenioritasan adalah hal yang menarik, bahkan mungkin tidak akan ada habis-habisnya. Saya sendiri mungkin adalah termasuk orang yang tidak setuju akan kesenioritasan, namun saya tidak punya kekuasaan untuk menentangnya, karena mayoritas senior di sekolah-sekolah Indonesia menganut sistem kesenioritasan ini.
Saya sendiri pernah bersekolah di sekolah yang mengedepankan peran senioritas. Murid kelas satu dilarang berkeliaran di lorong kelas tiga. Murid kelas satu hanya boleh makan di kantin pojok dan tidak boleh menyentuh area kelas dua dan kelas tiga. Murid kelas satu harus dibotakin setelah pelantikan usai. Murid kelas satu harus lewat jalan memutar hanya untuk menuju halte bus. Murid kelas satu….. murid kelas satuuu…. Murid kelas satuuuu….
Terus terang begitu saya mendengar peraturan ini saya melongo. Sebegitu rendahnyakah kasta kelas satu di depan anak kelas tiga? Rasanya ingin tertawa, apakah hal-hal sedemikian itu sangat penting untuk dijalankan, hanya untuk menjunjung kehormatan yang tinggi? Di sekolah yang sangat menjunjung tinggi nilai tawuran, anak kelas satu pun di sekolah saya pun terkadang harus maju di depan dan menjadi tameng bagi anak kelas dua dan kelas tiga. Ya ampun! Bener nggak sih ini arti dari kesenioritasan?
Kesenioritasan pure personally my opinion adalah keterlibatan seorang senior dalam mendidik juniornya untuk membimbing sang junior yang berada di lingkungan baru. Sang senior menjelaskan sedetai-detailnya lingkungan baru di sana agar junior tidak mengalami salah paham mengenai lingkungan tersebut. Namun arti kata kesenioritasan ini sepertinya sudah disalahartikan oleh sebagian pelajar di Indonesia, yang mayoritas mengartikannya sebagai suatu kekuasaan, kedudukan tertinggi.
Saya adalah seorang senior, berarti saya bisa melakukan hal sesuka saya.
Saya adalah seorang senior. Junior harus nurut sama saya.
Saya kan dulu pernah ditindas. Jadi nggak salah dong saya nindas balik junior-junior saya?
Bahkan masalah mengenai kesenioritasan ini sudah diangkat di beberapa stasiun televisi sebagai topik utama yang hangat diperbincangkan oleh para orang tua murid. Most of them tidak rela anak mereka menjadi korban keganasan para senior mereka, sehingga tak jarang anak-anak mereka takut untuk pergi ke sekolah. Anak kelas satu dipaksa untuk terlibat kegiatan tawuran, dan sebagainya, hal ini yang sudah semakin membuat para orang tua resah. Namun apakah para orang tua juga menyadari, bahwa dua tahun ke depan anak mereka juga punya probabilitas untuk berada di posisi senior yang menindas juniornya itu?
Satu catatan saya : “Jika hal seperti ini sudah mendarah daging di suatu komunitas, maka selamanya ini akan menjadi lingkaran hitam yang tidak bisa dihindari bila tidak ditindaklanjuti.”
Sulit sekali untuk merubah budaya dalam suatu komunitas, apabila tidak secara rutin digalakkan sedini mungkin. Kesadaran para wali murid dan wali kelas lah yang paling penting dalam memerangi hal ini.
Dan satu hal yang paling penting lagi adalah : KESADARAN DARI MURID ITU SENDIRI. Meneruskan suatu hal yang nggak penting adalah nggak guna alias useless, buat apa kalian susah-susah mikirin ngerjain anak orang, tapi diri sendiri nggak dipikirin?
Bagaimana nantinya bila saya tertangkap oleh kamtib sekolah? Bagaimana kalau nanti saya akan diskors?
Bagaimana kalau kemungkinan DO akan datang pada saya?
Pikirkanlah baik-baik sebelum kamu melakukan sesuatu.
Life is about option. Di depan kamu terbentang berbagai macam pilihan berserta resikonya, dan tugas kamu untuk pintar-pintar memilih, mana yang terbaik bagi kamu, dan mana yang terburuk buat kamu.
Regards,
Anien